Suku Toraja

Suku Toraja KamuBisa-iOSuku Toraja adalah suku yg menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam & kepercayaan animisme yg dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Suku Toraja

Suku Toraja
Suku Toraja

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yg berarti "orang yg berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[ Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan & ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yg penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang & berlangsung selama beberapa hari.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme & belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang & menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata & dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional & agraris, menjadi masyarakat yg mayoritas beragama Kristen & mengandalkan sektor pariwisata yg terus meningkat.
Identitas etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda & masa pengkristenan, suku Toraja, yg tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, & tidak beranggapan sebagai kelompok yg sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, & berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to, yg berarti orang, & Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis, suku Makassar, & suku Mandar yg menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, & identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal & pelaut), suku Makassar (pedagang & pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal & pelaut), & suku Toraja (petani di dataran tinggi).

Sejarah suku toraja
Dulu ada yg mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara & Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan & politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai & hanya memiliki sedikit lahan yg produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar & Bugis. Belanda melihat suku Toraja yg menganut animisme sebagai target yg potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan & menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan & disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yg mengklaim wilayah tersebut.Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, & Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.Misionaris Belanda yg baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yg menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yg tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, & hanya sedikit orang Toraja yg saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yg berubah agama menjadi Kristen. Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yg ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, & agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis & Makassar yg beragama Islam. Antara tahun 1951 & 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yg dilancarkan Darul Islam, yg bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yg berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yg diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu & Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, & suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Masyarakat Suku Toraja

A.  Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial & politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yg dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat & seterusnya) adalah praktek umum yg memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, & saling membayarkan utang. Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu & ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu & ayahnya, termasuk tanah & bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, & biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yg telah meninggal. Nama bibi, paman & sepupu yg biasanya disebut atas nama ibu, ayah & saudara kandung. Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, & berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau & babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik & budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yg menuangkan tuak, siapa yg membungkus mayat & menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yg harus digunakan atau dihindari, & bahkan potongan daging yg diperbolehkan untuk masing-masing orang.

B. Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, & budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yg lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yg lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan, yg dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yg lebih sederhana (pondok bambu yg disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yg dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa & budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan & status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yg dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yg dimiliki. Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang & membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, & perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yg sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

C. Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yg disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yg kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), & dunia bawah. Pada awalnya, surga & bumi menikah & menghasilkan kegelapan, pemisah, & kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yg dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yg dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, & surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), & lainnya. Kekuasaan di bumi yg kata-kata & tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, & kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, & ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yg umum adalah peraturan bahwa ritual kematian & kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Kebudayaan Suku Toraja

A. Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yg berdiri di atas tumpukan kayu & dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, & kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yg berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut & menggelar upacara yg besar.

Suku Toraja
Suku Toraja
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yg melelahkan & biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yg digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yg memiliki wewenang tertentu dalam adat & tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yg mencari pekerjaan yg menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yg besar.

B. Ukiran kayu
Bahasa Toraja hanya diucapkan & tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan & sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu & menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja. Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan & tanaman yg melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air & hewan seperti kepiting & kecebong yg melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul & kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia & hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yg tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas & kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat & bekerja keras, seperti hewan yg bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yg baik. Keteraturan & ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak & geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi & geometri yg teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.

C. Upacara pemakaman
Tempat penguburan Toraja yg diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yg paling penting & berbiaya mahal. Semakin kaya & berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yg berhak menggelar pesta pemakaman yg besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang & berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yg disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yg luas, selain sebagai tempat pelayat yg hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, & berbagai perangkat pemakaman lainnya yg dibuat oleh keluarga yg ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu & puisi, tangisan & ratapan merupakan ekspresi duka cita yg dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, & orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yg bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yg ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yg datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yg bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain & disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya. Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yg disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yg sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya & akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau & ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yg diringi musik & tarian para pemuda yg menangkap darah yg muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu & dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum. Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal & waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yg disebut tau tau biasanya diletakkan di gua & menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk & membuat petinya terjatuh.

Musik & Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, & untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran & menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, & berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi & mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati & kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau & babi, sekelompok anak lelaki & perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yg disebut Ma'dondan. Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi & menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur & tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yg dilakukan oleh pria & kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan & bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yg disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yg penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau & menari di sekeliling pohon suci. Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yg disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yg menari dengan tidak berbaju & berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yg dibuat dari daun palem & dimainkan pada waktu panen & ketika upacara pembukaan rumah.

Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yg dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yg utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi & digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja. Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , & Toraja-Sa'dan, & termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yg terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yg diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. Ciri yg menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita & proses berkabung dalam beberapa tingkatan yg rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, & tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung & bahan makanan pendukungnya adalah singkong & jagung. Banyak waktu & tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, & ayam yg dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan & sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja. Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang & membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak & pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yg berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu & minyak, ke Papua untuk menambang, & ke kota-kota di Sulawesi & Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985. Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 & 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik & ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

Komersialisasi
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja & bangsawan Toraja terakhir yg berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic & disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja & pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yg tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar. Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali". Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yg mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik) & jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel & restoran wisata yg dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981. Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yg eksotis, memiliki kekayaan budaya & terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu & pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yg telah mengunjungi Bali & ingin melihat pulau-pulau lain yg liar & "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan & berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, & mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja & pengembang pariwisata, yg dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja. Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja & pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja & tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan & tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual & tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu & beberapa desa lainnya yg ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir. Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yg memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), & dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yg diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yg ketat sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri & anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yg cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup & tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yg menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan & arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yg mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yg lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yg sesungguhnya ketika dia telah memiliki & hidup sebagai Tau.

Suku Toraja Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown
comments